Search

Pendalaman Alkitab Yehezkiel 11 - Pemimpin yang Hidup di dalam Ketetapan Allah

Yehezkiel 11:1-13

Gambaran seorang pemimpin yang diperlihatkan di dalam perikop ini mengajarkan kepada kita untuk menjadi pemimpin yang taat dan bukan sebaliknya, sama seperti yang dilakukan oleh Pelaca bin Benaya yang merupakan salah satu pemimpin dari ke-25 orang yang Tuhan telah percayakan untuk memimpin bangsa Israel bersama dengan Yaazanya bin Azur (ay.1). Pelaca bin Benaya memiliki gelar “Sorei ha’am”, yaitu : pemimpin-pemimpin bangsa / umat. Akan tetapi, meskipun Pelaca bin Benaya dianggap pemimpin, tetapi dirinya sama sekali tidak mencerminkan adanya sosok kepemimpinan. Pada ayatnya yang kedua, Allah berfirman kepada Yehezkiel bahwa ke-25 orang tersebut termasuk Pelaca bin Benaya merupakan orang-orang yang merancang kedurjanaan “evil” – “kejahatan” dan menaburkan nasihat jahat di kota Yerusalem. Namun, rupanya kondisi mereka itu bukan hanya diperlihatkan di dalam pasal 11 tetapi juga ada di dalam pasal ke-8, yang mana ke-25 orang yang dijelaskan di perikop ini juga merupakan peneropongan yang dilakukan oleh Nabi Yehezkiel yang menganggap mereka sebagai penyembah matahari (Yeh. 8:16). Akan tetapi celakanya mereka tidak sadar akan apa yang telah mereka perbuat, sehingga mereka merasa aman dan dilindungi oleh Allah. Bahkan mereka menganggap diri mereka sebagai daging “umat pilihan Allah” dan kota tersebut adalah periuknya “Periuk adalah sebuah wadah yang terbuat dari logam ataupun dari tanah.”  Periuk mewakili tembok kota, di mana mereka membayangkan diri mereka aman. Sebab mereka merasa percaya diri karena masih ada di Yerusalem setelah penyerbuan yang dilakukan oleh Babel pada tahun 597 sM. Padahal di dalam ay. 7 dan 11, Allah telah berfirmah bahwa daging dan periuk bukanlah milik mereka melainkan merupakan milik dari orang-orang yang telah mereka bunuh. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka telah lakukan adalah jahat di mata Tuhan. Sebab masalah yang dituduhkan oleh Yehezkiel melalui penglihatannya kepada ke-25 orang tersebut di nilai tidak bermoral karena telah melakukan pembantaian terhadap orang-orang di jalan-jalan kota Yerusalem hingga berserakan di jalan tersebut (ay.6). Oleh karena itu, di dalam ayat ke-4, Allah menyatakan hukuman-Nya melalui nubuat yang diberikan oleh Allah kepada hambanya Yehezkiel karena sikap kesombongan mereka yang telah dinyatakan pada ay. 3.

Melalui keadaan yang dijelaskan dalam perikop ini, kita diingatkan bahwa semua yang kita lakukan bukan karena kuat dan hebat kita, melainkan itu semua karena kasih karunia Allah di dalam kehidupan kita. Hal terpenting yang kita pelajari dalam bagian ini adalah kerendahan hati. Jangan sampai muncul kesombongan ketika Tuhan telah memilih kita untuk mengerjakan sebuah tanggung jawab, karena kesombongan itulah yang membawa kehancuran bagi diri kita sendiri dan berdampak bagi orang lain. Jika kita renungkan “Siapa kita di mata Tuhan, sehingga kita boleh melakukan pekerjaan-Nya?” Kita hanyalah manusia berdosa yang telah menerima anugerah-Nya. Oleh karena itu, Ingatlah bahwa apa yang kita terima, itu semua adalah titipan yang Tuhan berikan kepada kita untuk kita kerjakan bagi kemuliaan Tuhan.

Pelaca bin benaya sebagai pemimpin seharusnya mengarahkan umat-Nya untuk berada di dalam ketetapan Allah, bukan justru mengajak mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak dan ketetapan Allah. Hal ini dapat kita lihat di dalam ay. 12 yang menunjukkan bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak dan ketetapan Allah. Bahkan lebih taat dengan aturan-aturan yang ada di bangsa lain. Oleh karena itu, Tuhan memerintahkan Yehezkiel untuk bernubuat melawan mereka karena Allah tahu apa yang muncul di dalam hati mereka (ay.4-5). Firman Allah berkata kepada Yehezkiel dan menegaskan bahwa orang-orang yang berserakan di jalan adalah orang-orang Pilihan-Nya (ay.7). Allah pun menyatakan bahwa sikap kepemimpinan yang tidak benar ini akan digiring keluar dari Yerusalem untuk dibunuh dengan pedang dan diserahkan kepada orang asing, kemudian dijatuhi hukuman (ay. 8-11). Kata “pedang” menunjukkan hukuman Allah atas mereka yang belaku kejam dan menyimpang dari ketetapan Allah. Sebab itu, Yehezkiel mengatakan bahwa Tuhan akan menghukum mereka supaya mereka menyadari bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas mereka (ay.10,12). Bahkan di dalam kedua ayat ini, kata “Akulah Tuhan” muncul dua kali untuk menunjukkan identitas Allah sebagai Allah yang Maha Besar dan sekaligus menyatakan diri-Nya sebagai Pencipta, Pemilik, & Penguasa, sesungguhnya Allah memiliki hak untuk menentukan apa yg Ia ingin lakukan kepada ciptaan-Nya yg Ia kuasai.  Bahkan sesudah mengucapkan nubuat itu, penghukuman pun terjadi atas Pelaca bin Benaya yang langsung mati pada saat itu juga (ay.13). Berkaitan dengan kamatiannya yang mendadak. Hal itu bukan berarti Nabi Yehezkiel sedang menubuatkan kematiannya, melainkan bahwa sementara ia sedang bernubuat, maka Pelaca tiba-tiba mati. Nabi Yehezkiel memaknai kematian Pelaca bin Benaya sebagai simbolik, yaitu menunjukkan keseriusan Tuhan menghukum Israel. Melalui kisah ini kita diingatkan sebagai seorang pemimpin untuk membuka diri terhadap teguran Tuhan, lalu memohon pengampunan-Nya dan memberi diri untuk diperbaharui oleh-Nya. Allah memperlakukan Israel dengan cara yang sama seperti seorang ayah yang pengasih terhadap anak-anaknya. Kadangkala kita sebagai orang tua perlu sesekali memberikan teguran yang keras untuk mendidik anak kita. Begitupun yang dialami oleh bangsa Israel ketika mereka secara sengaja berdosa kepada Allah dan menyembah berhala, Tuhan akan menghukum mereka, namun setiap kali mereka bertobat dari penyembahan berhala, Tuhan menolong dan membebaskan mereka. 

Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita mau menjadi pemimpin yang tidak taat sama seperti Pelaca bin Benaya beserta dengan ke-25 orang tersebut atau kita mau menjadi pemimpin yang taat kepada Allah. Ketaatan kita kepada Allah bisa dimulai dengan bagaimana kita mau menjadi pendengar yang baik, terutama mendengarkan “apa yang Tuhan mau di dalama kehidupan kita”. Salah satu pernyataan yang saya ingat dari Mushi Yong Xing kepada saya melalui pesan yang diberikan adalah “Siapa yang menjadi Tuan-Mu?” ketika saya merenungkan pesan tersebut, saya tahu bahwa saya hidup di dunia ini bukan untuk manusia, bahkan ketika saya melakukan pekerjaan dan pelayanan yang diberikan, saya tahu bahwa diri ini adalah milik Allah dan apa yang saya lakukan hanyalah untuk Allah. Oleh karena itu, marilah kita merenungkan bahwa sebagai pemimpin, kita perlu belajar untuk melakukan segala sesuatu di hadapan Allah “Coram Deo”. Pendeta Cotton Mather, mengaplikasikan Coram Deo dengan pernyataan “Biarkan setiap orang Kristen berjalan bersama Tuhan ketika dia bekerja pada panggilannya, dan bertindak dalam pekerjaannya dengan mata kepada Allah, bertindak seperti di bawah mata Tuhan”. Ungkapan Coram Deo merupakan pengingat sempurna bahwa kita semua sebagai orang yang percaya kepada Allah, kita tidak sekedar menjalani hidup ini menurut kehendak sendiri, melainkan menyerahkan hidup kita kepada Tuhan untuk taat di bawah otoritas-Nya.

Di dalam membangun sikap kepemimpinan, maka seorang pemimpin juga harus mengetahui beberapa hal mengenai sarana transformasi yang Allah gunakan untuk membentuk karakter kita untuk menjadi seorang pemimpin yang berkualitas :

  • Pertama, Firman Allah adalah sarana utama yang digunakan Allah untuk membentuk karakter anak-anak-Nya. Sehingga ketika kita hidup dengan Firman, maka kita dapat memikirkan apa yang dipikirkan Allah dan memperoleh kesadaran serta nilai-nilai yang didasarkan pada kerajaan Allah. Oleh karena itu, seorang pemimpin baru harus mendisiplikan dirinya untuk merenungkan isi Firman Tuhan, bukan untuk melayani orang lain, melainkan untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya sendiri.
  • Kedua, doa adalah sarana yang Allah gunakan untuk mengubah karakter kita. Kesungguhan kita dalam berdoa mendemonstrasikan kebergantungan kita kepada Allah. Melalui doa, kita memohon kepada Roh Kudus untuk bekerja dalam hidup kita, meminta-Nya untuk menjadikan kita peka terhadap berbagai kesempatan untuk bertumbuh dan mengaplikasikan apa yang diajarkan-Nya kepada kita.
  • Ketiga, keteladanan adalah sarana lain yang Allah pakai untuk membentuk karakter kita. Pada umumnya, kita menjadikan orang-orang (orang tua, guru, pendeta, mentor) sebagai teladan kualitas karakter yang positif dan menanamkan kualitas-kualitas karakter itu ke dalam kehidupan kita. Penulis kitab kitab Amsal berkata dalam Amsal 13:20 dan Amsal 27:17. Salah satu cara untuk belajar dari teladan orang lain adalah dengan membaca biografi mereka, kemudian mintalah kepada Allah agar diberikan seseorang yang dapat menjadi panutan yang positif dan secara aktif dapat membangun hidupmu.
  • Keempat, situasi dan kondisi adalah sarana yang sering Allah gunakan untuk membentuk karakter kita. Bagaimana hati kita merespon situasi itu sering lebih penting daripada apa yang akhirnya kita putuskan atau lakukan. Allah mengatur situasi-situasi itu demi menciptakan perkembangan dan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Ingatlah bahwa kita adalah pemimpin-pemimpin masa depan. Di dalam perikop ini, kita dapat belajar bahwa eksistensi seorang pemimpin di anggap sebagai seseorang yang memiliki andil besar di dalam sebuah pencapaian, berhasil atau tidaknya semua itu ditentukan oleh sikap dan tindakan yang ditunjukkan oleh pemimpin kepada anggota-anggotanya.  Tidak heran jika kegagalan yang terjadi pada seorang pemimpin akan berdampak buruk pada komunitas yang ia kelola. Oleh karena itu, sebagai seorang pemimpin, baik di dalam gereja, bisnis, organisasi maupun di dalam keluarga, dalam hal ini kita perlu berhikmat untuk mengerjakan apa yang sudah Tuhan telah percayakan di dalam kehidupan kita. Sebab apa yang kita miliki saat ini, semua itu adalah “pemberian” milik kepunyaan Allah. Sehingga ketika kita diberikan tanggung jawab untuk memimpin, maka bukan lagi ego yang berkuasa, melainkan Tuhan. Dengan demikian, biarlah kita menjadi pemimpin yang Taat, yang mau Tuhan pakai menurut ketetapan-ketatapan-Nya melalui sikap hati kita yang murni.

Sdr. Berkat Anugrah Hia