Pendalaman Alkitab YEHEZKIEL 10
Hari ini kita telah memasuki kitab Yehezkiel pasalnya yang ke-10. Jika diperhatikan dan benar-benar direnungkan maka saudara tentu tahu bahwa setiap pertemuan pembahasan kitab Yehezkiel selalu disertai dengan pertanyaan refleksi. Tentu saja tujuannya adalah agar apa yang didengar tidak berlalu begitu saja, tetapi kita ingat dengan baik, kita internalisasikan dan terapkan, menjadi bagian di dalam hidup kita. Jika demikian, apakah saudara masih ingat dengan pertanyaan refleksi “Bagaimana perasaan ditinggalkan Tuhan?”. Di pertemuan ke berapa pertanyaan refleksi ini muncul?
Ya! pertanyaan refleksi tersebut muncul di pertemuan pertama, mengenai pembahasan Yehezkiel pasal 1 sd 3, sehingga dapat dikatakan bahwa pasal 1-3 (terkhususnya pasal 1) memiliki banyak persamaan dengan Yehezkiel pasal 10 yang menjadi pembahasan kita saat ini. Sebab keduanya berbicara erat dengan hal-hal “meninggalkan” sesuatu, seperti tema kita hari ini “sayonara” yang berarti berpisah, meninggalkan seseorang atau sesuatu. Persamaan dan kemiripan yang terdapat pada Yehezkiel 1 dan 10 tidak hanya dari segi pesan, tetapi jika diperiksa dengan seksama kisah yang terdapat di dalam Yehezkiel 1 dan 10 benar-benar mirip. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak pembaca apakah kisah Yehezkiel 1 dan 10 ini adalah peristiwa yang sama?
Mengenai Yehezkiel 10 ini, Hoppe, Vawter, Bruce dan Leslie di dalam bukunya “Ezekiel: A New Heart” mengatakan bahwa Pasal 10 adalah karya editorial yang mengulangi pasal 1-3, sembari memperlihatkan perbedaannya. Sedangkan Daniel Block mengatakan bahwa pasal 10 merupakan pengulangan dari pasal 1, tetapi lebih diperjelas, dua-dua-duanya merupakan pengalaman religius Yehezkiel yang terjadi di waktu berbeda. Setelah membaca Yehezkiel ke 22 di dalam Yehezkiel 10 ini bagaimana pendapat Anda! Apakah Anda setuju dengan Hoppe dkk atau setuju dengan Block atau Anda punya pendapat yang lain? Untuk mengetahui apakah peristiwa ini sama ataupun tidak maka kita harus memeriksa teks dengan lebih seksama seraya membandingkannya.
Di dalam Yehezkiel 1 dikatakan bahwa di tengah-tengah itu (angin badai, awan besar, api yg mengkilat) ada yang menyerupai makhluk hidup (ay. 4-14). Namun, di sini tidak dijelaskan makhluk apa itu alias tidak bernama. Sementara di pasal 10 dijelaskan bahwa itu adalah kerub. Di Yehezkiel 1, kita juga tidak temukan secara eksplisit mengenai “orang yang berpakaian kain lenan”. Sementara di Yehezkiel 10 jelas diperlihatkan tentang sosok tersebut. Bahkan diceritakan bahwa, yang berpakaian lenan itu bukan lagi sebagai jurutulis sebagaimana yang dicatat oleh Yehezkiel 9: 3, namun sebagai pembawa api (Yeh 10: 2-7), di mana di dalam Alkitab api sering sekali disimbolkan sebagai kemuliaan, kekuasaan, keadilan Tuhan, penghakiman akan dosa, dsb. Selain itu terdapat perbedaan yang lain yang dapat dikatakan tidak terlalu signifikan yakni jika pada pasal 1 yang dominan pada kerubim adalah sayapnya, maka pada pasal 10 yang dominan adalah tangannya. Sementara jika pada pasal 1 gambar kemuliaan Allah yang penuh dengan roda yang bermata itu tidak bernama, maka di pasal 10 gambar tersebut disebut sebagai putting beliung. Jadi berdasarkan penelusuran dan hemat saya, kedua peristiwa itu adalah dua hal yang berbeda, dua pengalaman religius yang berbeda sebagaimana yang dikatakan oleh Block, dan tujuannya pun berbeda.
Penglihatan Yehezkiel di pasal 1 jelas bertujuan memperlihatkan tentang gambar kemuliaan Allah sebagaimana yang ia katakan pada Yeh 1: 28 “…Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN. Tatkala aku melihatnya aku sembah sujud, lalu kudengar suara Dia yang berfirman”. Sedangkan tujuan Yehezkiel 10 adalah memperlihatkan bahwa kemuliaan Allah meninggalkan Bait Suci. Hal ini dapat dilihat pada ayat 18-19 “Lalu kemuliaan TUHAN pergi dari ambang pintu Bait Suci dan hinggap di atas kerub-kerub….”. Perbedaan kedua peristiwa ini sebenarnya juga dijelaskan oleh Yehezkiel pada ayat 15 dan 20 dimana dikatakan “Kerub-kerub itu naik ke atas. Itulah makhluk-makhluk hidup yang dahulu kulihat di tepi sungai Kebar (ay. 15), Itulah makhluk-makhluk hidup yang dahulu kulihat di bawah Allah Israel di tepi sungai Kebar. Dan aku mengerti, bahwa mereka adalah kerub-kerub” (ay. 20). Di sini semakin diperjelas bahwa penglihatannya pada pasal 10 juga pernah dilihatnya dulu, tetapi dulu ia belum tahu nama makhluk-makhluk itu, tetapi sekarang ia tahu nama-nama makhluk itu adalah kerub.
Berdasarkan eksplorasi di atas maka dapat dikatakan bahwa pengalaman religius Yehezkiel di pasal 10 benar-benar menekankan bagaimana gambaran kemuliaan Tuhan itu meninggalkan Bait Suci, sehingga pengulangan kembali gambaran kemuliaan itu memperjelas dan memberi gambaran detail bagaimana hal itu terjadi, dan apa yang belum dimengerti sebelumnya oleh Yehezkiel, di dalam pasal 10 ini disingkapkan padanya. Namun, sebagai pembaca zaman sekarang kita harus ingat bahwa kemuliaan Allah yang diceritakan oleh Yehezkiel itu hanyalah gambaran, dan namanya gambaran hanya menggambarkan yang apa yang sebenarnya. Dan tentu kemuliaan Allah yang sebenarnya itu jauh melampaui apa yang dapat dilukiskan dengan gambaran maupun kata-kata. Maksudnya adalah, ketika kita berbicara tentang kemuliaan Allah, kita jangan buru-buru memutlakan gambaran kemuliaan Allah seperti yang Yehezkiel katakan walaupun itu benar adanya, sehingga gambaran kemuliaan Allah yang lain bisa kita persalahkan dengan mudah. Tujuan diperlihatkannya gambar kemuliaan Allah ini adalah memperlihatkan betapa dahsiat, suci, mulia, agungnya kemuliaan Allah itu, penuh dengan misteri, sehingga kita dapat lebih beriman di tengah kemisterian itu, dan hidup kita diinspirasi oleh gambaran kemuliaan-Nya itu. Karena suatu saat nanti kita pun akan dimuliakan bersama-Nya oleh karena Yesus Kristus seperti yang tertulis di dalam 2 Tesalonika 2: 13-15. Jadi jangan pernah tawar hati oleh karena hal apa pun yang terjadi di dalam dunia ini, karena kemuliaan yang akan dianugrahkan kepada setiap kita jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan dan gambarkan. Oleh karena itu, mestinya sebagai orang percaya hidup kita mestinya seturut dengan kemuliaan Tuhan itu yakni kita senantiasa hidup di dalam pertobatan.
Yehezkiel 10 memperlihatkan dengan jelas kepada setiap kita bahwa kemuliaan Allah yang dahsiat dan mengagungkan itu meninggalkan Bait Suci. Dan jika kita bertanya di dalam hati mengapa hal itu terjadi? rasanya kita semua sudah tahu jawabannya yakni karena orang-orang Israel telah menajiskannya dengan perilaku dosa dan kebobrokan hidup mereka, sehingga Allah yang suci tidak berkenan lagi di sana. Mengenai dosa dan kebobrokan umat Isrell dengan jelas dapat kita temukan di pasal-pasal sebelumnya. Jika demikian, apa dampaknya jika Allah meninggalkan Bait Suci bagi umat Israel? untuk menjawab pertanyaan ini maka kita mesti mengetahui terlebih dahulu apa makna Bait Suci itu sendiri di dalam sejarah kehidupan umat Israel.
Dari berbagai literatur tentang Bait Suci, banyak yang mengatakan bahwa Bait Suci bagi umat Israel adalah segala-galanya, jati diri dan identitas mereka. Bait Suci sama bermaknanya dengan kota Yerusalem itu sendiri, “tempat Allah dibumi sekalipun Ia berada di Sorga”, Bait Suci adalah lambang kehadiran Allah, simbol kemuliaan dan kemenangan. Christoph dan Marie Claire Barth mengatakan bahwa pemilihan Allah tidak hanya dinyatakan kepada nenek moyang Israel, Israel sebagai bangsa, tetapi juga kepada Yerusalem di mana Bait Suci terhisap di dalamnya. Jadi, ketika kemuliaan Allah Allah meninggalkan Bait Suci maka secara otomatis orang-orang Israel kehilangan apa yang paling berharga bagi mereka, kehilangan identitas, dan jati diri mereka. Di dalam Ezra 4: 12-13 saja kita bisa melihat bahwa orang-orang Israel baik para imam dan orang lewi menangis histeris karena pembangunan Bait Allah tidak akan semegah yang dahulu pada zaman Salomo, nah bagaimana kalau tidak ada bait Allah! mungkin tidak tahu lagi apa yang akan terjadi pada umat Israel. Ketika kemuliaan Allah meninggalkan Bait Suci, maka tentu Bait (rumah) itu tidak dapat dikatakan lagi sebagai Bait Suci atau Bait Allah bukan? Karena Allah atau Yang Suci itu telah pergi.
Namun, di sisi lain, walau susah dibayangkan kengerian dampak dari kemuliaan Allah yang meninggalkan Bait Suci itu adalah bahwa tentu Allah juga sedih. Sebab bagaimana mungkin Ia tidak sedih meninggalkan “tempat-Nya” di bumi sekalipun Ia tidak dibatasi tempat seperti itu. Bagaimana mungkin Ia tidak sedih meninggalkan orang-orang, tanah, tempat tinggal pilihan-Nya! kita saja tentu sedih meninggalkan orang-orang yang kita kasihi dan cintai bukan! demikian juga dengan Allah.
Di dalam PL, Bait Suci disebut kemah suci atau tabernakel (Kel 25: 9), Rumah Tuhan, Bait Tuhan (2 Raja2 11 & 18), Kemah ataupun tempat hukum Allah (2 Taw 26:6), Rumah persembahan/korban ( 2Taw 7:12), Gunung Sion, Bait Kudus (Mazmur 42, 79). Sementara di dalam PB Bait Suci sering disebut sebagai Rumah bapa-Ku, Tubuh Yesus Kristus sendiri (Yoh 2), Sorga, Allah adalah Bait Suci itu sendiri (Wahyu 7 & 21), Gereja (Efesus 2: 21), dan orang-orang percaya (1 Kor 3: 16). Jadi pada zaman sekarang ini di dalam realitas kehidupan sehari-hari kita semua orang percaya, baik gereja, baik secara pribadi maupun komunitas adalah Bait Suci itu sendiri. Sebagai gereja, komunitas, pribadi, langkah-langkah pertobatan konkret apa yang sedang dan akan kita perbuat, sehingga kita tidak jatuh di dalam lobang yang sama seperti yang dialami Israel seperti di dalam Yehezkiel 10 bacaan kita hari ini? Selain itu, sebagai umat pilihan-Nya, bait-Nya, mari, di dalam segala hal yang kita lakukan kita juga senantiasa memperhatikan perasaan Tuhan? karena jika kita hidup di dalam dosa entah itu berhala, kebobrokan, dan kenajisan, Ia tentu akan sangat sedih.
Ev. Malemmita P.