Search

Doa KEKAYAAN DALAM KEHENINGAN

Guru: “Murid, bisakah engkau hening selama 5 menit?”

Murid: “mengapa harus hening?”

Guru: “karena keheningan adalah sebuah pewahyuan, penyingkapan. Untuk berhasil di dalam doa maka harus ada usaha yang disengaja oleh seseorang. Di dalam keheninganlah kita dapat dengan peka mendengar suara Tuhan. Karena seringkali bukannya Tuhan tidak berbicara, tetapi dunia dan diri kita yang terlalu berisik. Namun untuk mencapai keheningan itu tidaklah mudah”

Murid: “lalu apa yang saya harus lakukan untuk mencapai keheningan itu? karena seringkali ketika sedang hening dan berdoa pikiran saya melayang-layang entah kemana!”

Guru: “yang harus kamu lakukan adalah berlatih terus-menerus. Jika kamu adalah tipe orang yang gampang terganggu dengan suara-suara yang lain, maka cari tempat yang khusus dan waktu khusus, di mana kamu dapat fokus hening dan berdoa. Mungkin ketika hening itu pikiranmu masih akan melayang-layang entah kemana. Tidak apa-apa,  cukup sadari saja bahwa pikiranmu memang sedang melayang-layang, dan itulah yang diungkapkan keheningan kepadamu. Latihlah tiap hari keheningan itu di dalam terang firman Tuhan dan doa, sehingga engkau akan memperoleh kekayaan di dalam keheningan itu.”

Dari dialog Guru dan Murid di atas, kita dapat melihat betapa pentingnya keheningan di dalam sebuah kehidupan doa, di mana sebenarnya yang hendak dicapai dari keheningan itu adalah sebuah kesadaran diri yang utuh penuh waktu berdoa. Dengan kata lain, keheningan adalah sebuah jalur seseorang berkontak dengan masa kini di dalam doanya, merasakan kehadiran Allah saat ini dan di sini. Mengenai hal ini, di dalam bukunya “Shadana,” Anthony De Mello mengatakan “untuk berhasil di dalam doanya seseorang mutlak harus mengembangkan kemampuan berkontak dengan masa sekarang dan mau tinggal di situ pula, keluar dari kepala dan kembali kepada rasa.”

Keluar dari kepala dan kembali kepada rasa maksudnya bukan serta merta kita tidak menggunakannya, atau tidak berpikir sama sekali. Bukan begitu. Karena bagaimana pun sebagai makhluk yang berpikir kita tidak bisa terlepas dari pikiran kita dan hal-hal yang mengitarinya. Maksudnya adalah, bahwa kepala itu bukanlah tempat terbaik untuk berdoa, tetapi bukan juga tempat yang jelek untuk memulai doa. Tetapi bila doa kita terlalu lama tetap di sana, lambat laun akan menjadi kering, terasa gersang, dan menjemukan.

Oleh karena itu jangan lama-lama terjebak bahkan ditawan di sana, tetapi beranjaklah ke tempat sadar, rasa, cinta, intuisi, dan relasi. Di sinilah doa menjadi sebuah kekuatan yang merubah, sumber sukacita, dan damai yang tidak ada habis-habisnya, di sinilah kita dapat merasakan cinta dan kasih sayang Allah tercurah di dalam hidup kita. Dan semuanya ini dimulai dengan hening. Latihlah senantiasa diri kita untuk hening, dengan sengaja mengkhususkan tempat dan waktu seperti yang juga dilakukan oleh Tuhan Yesus yang dapat kita lihat di dalam Markus pasal 1. Di sini, meskipun Tuhan Yesus sibuk dengan berbagai kegiatan-Nya, Ia mengkhususkan tempat dan waktu untuk hening. Markus 1: 35 mengatakan “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana”.

Mari kita meneladani kehidupan doa Tuhan Yesus. Mari kita belajar untuk hening dengan mengkhususkan tempat dan waktu kita untuk berdoa. Ingat! Bukan quantitas, tetapi kualitas. Ukurannya bukan berapa lama dan berapa banyak kita hening dan berdoa, tetapi apakah kita dengan sungguh melakukannya atau tidak? Apakah kita dengan sungguh mau terhubung dengan-Nya atau tidak? Mungkin bisa dimulai 5 menit terlebih dahulu, baru kemudian 10 menit, 15 menit, dst. Selamat menemukan kekayaan di dalam doa dan keheningan.

Ev. Malemmita

Referensi:

De Mello, Anthony. 1980. Shadana: Jalan Menemukan Tuhan.