Artikel Janganlah Terlalu Berhikmat! Mengapa Engkau Mau Membinasakan Dirimu Sendiri?
Pengkhotbah 7:15–18
Apakah di antara kita sudah pernah ada yang membaca bagian pengkhotbah yang akan kita renungkan bersama hari ini? Ketika membaca atau mendengarkan bagian firman Tuhan ini apa yang langsung terbersik di dalam pikiran saudara? Bisa jadi kita akan langsung berpikir “apa maksudnya ini! Kok saya tidak boleh terlalu berhikmat? kok plin plan, tidak terlalu jelas! kok bisa pula ada yang mau mati sebelum waktunya, dst” Pernahkah saudara bertemu orang yang merasa dirinya selalu tahu segalanya? Dalam pekerjaan, dalam pelayanan, bahkan dalam keluarga—selalu merasa yang harus didengarkan, merasa paling benar, paling mengerti, dan paling berpengalaman! Orang seperti ini mungkin tampak berhikmat, tetapi sebenarnya tidak, sebab lama-kelamaan ia akan menjadi sulit diajar dan tidak bisa ditegur, sehingga hikmatnya itu akan menjadi bumerang baginya.
Saudara tahu Blaise Pascal – ilmuwan dan filsuf (akhir hidupnya ia memutuskan menjadi teolog, melayani Tuhan) yang menyadari bahwa pengetahuan tidak cukup tanpa iman? Ia ini terkenal cerdas, bahkan sampai dijuluki komputer berjalan. Tetapi, di akhir hidupnya mereka berkata, “Aku tahu banyak hal, tetapi tanpa iman rasanya itu semua sia-sia.”Betapa tragis bukan! hikmat yang besar, tapi tanpa kebijaksanaan hidup! Firman Tuhan hari ini mengingatkan kita melalui Pengkhotbah 7:16, “Janganlah terlalu benar, dan janganlah terlalu berhikmat! Mengapa engkau mau membinasakan dirimu sendiri?” Ini bukan berarti Tuhan melarang kita menjadi bijak dan berhikmat! Tentu tidak. Tapi Tuhan sedang memperingatkan bahwa hikmat yang tidak disertai takut akan Tuhan bisa menghancurkan diri kita sendiri.
Melalui Pengkhotbah 7:15–18 bacaan kita hari ini, pengkhotbah mengajar kita dari pengalaman hidupnya sebuah kenyataan tentang orang yang menganggap dirinya berhikmat yang kemudian celaka dan binasa karenanya. Tidak hanya itu, ia juga melihat bahwa begitu banyak orang yang karena terlalu bodoh, celaka oleh kebodohannya sendiri, karena bebal, tidak mau berubah, sehingga kemalangan itu pun menimpanya. Menurut beberapa penafsir, karena pengkhotbah mengaitkan hikmat dengan kesia-siaan (ay.15) dan ektrem tentang konsekuensi terlalu berhikmat maupun terlalu bodoh, maka dapat disimpulkan bahwa “terlalu berhikmat” yang dimaksukan adalah merasa diri paling tahu, paling benar, dan tidak membutuhkan arahan Tuhan. Orang seperti ini bisa menjadi sombong rohani—tahu banyak tentang kebenaran, tapi tidak hidup di dalamnya. Kita pun bisa masuk kategori ini jika kita rajin beribadah tetapi ketika mendengar khotbah kita berkata “Hamba Tuhan itu kurang dalam tafsirannya.” atau “saya punya pandangan yang lebih benar.” Akhirnya, kita bukan bertumbuh dalam iman, tapi tenggelam dalam rasa paling benar. Itulah yang dimaksudkan pengkhotbah dengan terlalu berhikmat, hikmat yang membinasakan, hikmat yang kehilangan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Padahal jelas firman Tuhan menegaskan bahwa “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” (Amsal 1:7). Tanpa takut akan Tuhan, hikmat kita menjadi senjata untuk melukai diri sendiri dan orang lain di sekitar kita, khususnya orang-orang terdekat kita.
Pengkhotbah berkata, “Orang yang takut akan Allah akan luput dari semuanya itu” (ay.18). Artinya, hikmat sejati bukan sekadar pengetahuan atau kecerdasan, tetapi hidup dengan hati yang menyadari ketergantungan kepada Tuhan. Apa yang dikatakan Pengkhotbah ini sangat relevan pada zaman sekarang ini, di mana banyak orang yang hidupnya yang hanya mengandalkan pengetahuan dan rasionya: setiap keputusan diatur, setiap langkah dipikirkan, tapi lupa berdoa dan bertanya kepada Tuhan. Banyak orang berencana dengan cermat, memperhitungkan segala kemungkinan di dalam keluarga, bisnis, dan kehidupan sehari-hari dengan baik, tetapi tidak berserah kepada kehendak Allah. Dan ketika rencana gagal, mereka hancur — karena fondasi hidupnya bukan iman, melainkan pengetahuan dan logikanya saja. Tentu, tidak ada yang salah dengan rasio dan pengetahuan, karena itu juga adalah bagian dari hikmat, tetapi yang menjadi masalah adalah kita terlalu bergantung padanya, sehingga kita lupa dan tidak sadar bahwa kita harus bergantung kepada Tuhan. Seperti yang Amsal 3:5–6 katakan “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.” Hikmat sejati tidak menyingkirkan Tuhan dari keputusan hidup, tetapi justru mengundang-Nya di dalamnya.
Di sisi lain, melalui bacaan kita hari ini, Pengkhotbah juga memperingatkan: “Janganlah terlalu fasik, dan janganlah bodoh! Mengapa engkau mau mati sebelum waktumu?” (ay.17). Artinya, kita tidak boleh hidup di dua ekstrem yang tidak benar: terlalu benar berhikmat, sehingga menjadi orang yang sulit untuk ditegur karena merasa benar, menjadi orang yang legalistik, kaku, dan sombong rohani. Kita juga tidak boleh menjadi orang yang terlalu fasik dan bodoh — hidup tanpa arah, tanpa hikmat Tuhan, sehingga ketika teguran Tuhan datang kita tidak sadar, kita menjadi orang yang bebal dan keras hati yang mendatangkan kecelakaan atas diri kita sendiri. Maka dari itu, kita perlu senantiasa memeriksa diri kita, apakah di dalam perkataan dan tindakan, tanpa sadar kita sering menjadi orang yang “terlalu berhikmat atau terlalu bodoh?” Hidup orang beriman mestilah selaras dengan maunya Tuhan: benar, tapi tetap rendah hati; berhikmat, tapi tetap mengasihi dengan tulus. Inilah jalan orang yang takut akan Tuhan.
Jika kita seorang pemimpin apakah kita telah menjadi pemimpin yang mengandalkan himat dan kepintaran sendiri ataukah doa? Jika sebagai pemimpin di dalam kehidupan sehari-hari ataupun ketika memimpin di dalam pelayanan kita berkata “saya sudah tahu cara terbaik mengaturnya.” Tapi karena tidak melibatkan Tuhan, hasilnya kacau dan penuh konflik. Mungkin kita pandai secara strategi, tapi miskin dalam doa. Dengan demikian, kita bukanlah pemimpin yang berhikmat. Sebab hikmat yang tanpa Tuhan akhirnya hanya akan menjadi keangkuhan yang menenggelamkan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Jika di dalam keluarga ada orang tua yang selalu berkata, “Papa atau Mama lebih tahu dari kamu,” dan tidak mau mendengar hati anaknya. Maka ia bukanlah orang tua yang berhikmat dengan benar. Akibatnya, relasi di dalam keluarga akan menjadi dingin. Hikmat tanpa kasih menghancurkan relasi yang sudah sekian lama terjalin.
Di sekeliling kita saat ini, kita juga dapat memerhatikan bahwa dunia modern ini banyak orang yang terlalu mengandalkan rasio dan pengetahuannya, sehingga dunia makin maju, tetapi manusia makin gelisah. Kita tahu banyak hal — teknologi, ekonomi, politik, tetapi kehilangan arah hidup. Hikmat tanpa Tuhan menghasilkan kekosongan jiwa. Tanpa hikmat Tuhan atau dalam bahasa renungkan hari ini “terlalu berhikmat,” membuat kita seperti seorang yang sedang mabuk. Orang yang mabuk berpikir ia paling benar dan paling tahu. Ia menikmati kemabukannya, padahal ia sedang hidup di dalam ilusi dan angan-angan kebahagiaan yang sekilas saja. Sebab kemabukannya akan akan berakhir dan berujung kecelakaan pada diri sendiri dan orang lain. Apakah ada yang pernah menegur orang mabuk? Semoga tidak ya! Karena mereka akan merasa benar. Bisa-bisa kita diserangnya. Kalau kita menegurnya, bisa jadi kita pun adalah orang yang terlalu berhikmat—yang menggunakan hikmat tidak pada tempatnya, tidak bijaksana.
Sahabat-sahabat Kristus, Tuhan tidak melarang kita berhikmat. Tuhan justru rindu kita memiliki hikmat, tetapi bukan terlalu berhikmat sebagaimana Pengkhotbah katakana hari ini kepada setiap kita. Tetapi hikmat yang disertai takut akan Tuhan. Karena tanpa Tuhan, hikmat kita menjadi kesombongan; tapi bersama Tuhan, hikmat menjadi terang yang menuntun jalan hidup kita. Marilah kita belajar seperti yang dikatakan Amsal 9:10: “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, dan mengenal Yang Mahakudus adalah pengertian.” Janganlah hikmat kita membuat kita tinggi hati, tetapi biarlah hikmat kita membuat kita semakin rendah hati, semakin bijaksana di hadapan Tuhan. Untuk itu, mari kita senantiasa menjaga displin rohani kita, tekun memeriksa diri kita di hadapan Tuhan, dan menjaga relasi kita tetap intim dengan Sang Hikmat itu.
Ev. Malemmita