Search

Artikel Janganlah Keraskan Hatimu!

Ibrani 4:7

Saudara, tidak ada satupun dari kita yang ingin kehidupan kita semakin buruk. Kita menginginkan kehidupan yang  semakin baik, bertumbuh dan berbahagia.
Amsal 4:23
Jagalah hatimu (לֵבָב Levav) dengan segala kewaspadaan, karena dari sanalah terpancar kehidupan

Di dalam bahasa Ibrani, kata לֵבָב Levav memiliki arti: Batin manusia, pikiran, kehendak, hati.
לֵבָב Levav tidak sebatas perasaan, tetapi mecakup keseluruhan hidup seorang manusia, pikiran, kehendak, hati dimana terpancarnya kehidupan. Kehidupan kita sangat bergantung pada kualitas לֵבָב Levav. Kehidupan yang terpancar dari לֵבָב Levav bisa bermacam-macam:
Hati yang Tersinggung
Hati yang Pahit
Hati yang Mengingini
Hati yang Marah/Kesal
Hati yang Angkuh
Hati yang Sabar (Patience)
Hati yang Rindu (Yearn)
Hati yang Berbahagia (Blessed)
Hati yang Puas (Content)
Hati yang Hancur (Brokenhearted)


Kehidupan seperti apa yang terpancar dari hati kita? Kehidupan kita sangat bergantung pada kondisi hati kita. TUHAN menegur dengan tegas kondisi hati yang keras. “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu…” diulang sebanyak 3 kali dalam kitab Ibrani 3:7–8, 3:15, and 4:7. Bagian firman ini mengutip dari Mazmur 95.

Mazmur 95:7b-8
Pada hari ini, kalau saja kamu mendengar suara-Nya! JANGANLAH KERASKAN
HATIMU (לֵבָב Levav) seperti di Meriba, seperti pada waktu di Masa di padang gurun,…

Hati yang keras tidak merespons kebenaran rohani. Kondisinya sama seperti perumpamaan Yesus tentang penabur, benih firman Tuhan yang jatuh di pinggir jalan. Benih firman yang berharga tersebut di injak orang dan menjadi makanan burung, si jahat mengambilnya (Mat. 13:4). Hati tidak lagi responsif. Hati yang keras sulit melihat memahami karena pelita tubuhnya gelap. Kekerasan hati mematikan jiwa.

Mazmur 95 menggambarkan hati yang keras sebagai hati yang sesat dan tidak mengenal jalan TUHAN.
Mazmur 95:10-11 (juga di Ibrani 3:10-11)
Empat puluh tahun Aku muak terhadap generasi itu, maka Aku berkata, “Mereka umat yang SESAT HATINYA, mereka TIDAK MENGENAL JALAN-KU.” Sebab itu, Aku bersumpah dalam murka-Ku, “Mereka tak akan pernah masuk ke tempat perhentian-Ku.”

Seseorang tersesat selalu dimulai dengan hati yang tersesat. Kita mungkin mengenal perumpamaan anak bungsu yang hilang. Anak bungsu sesat hati mengira diluar rumah Bapa lebih baik, sehingga ia keluar dari rumah. Di awal mungkin ia bangga dengan keputusannya. Ia dapat bebas melakukan apapun sesukanya dan hidup berfoya-foya. Hingga pada hari bencana datang dan kekayaannya habis. Barulah ia sadar akan hatinya yang sesat. Perhatikan, ketika seseorang melakukan dosa dan kejahatan, konsekuensinya sering kali tidak langsung terasa dan terlihat. Kita tahu kemudian anak ini sadar dan pulang ke rumah Bapa.

Perumpamaan dilanjutkan dengan menunjukkan kondisi hati si sulung yang juga tersesat. Berbeda dengan si bungsu yang dosa dan kejahatannya terlihat dengan jelas, keberdosaan si sulung ini tersembunyi dan mematikan jiwanya sendiri. Hati yang pahit, marah, kesal bahkan angkuh mulai nampak dari sikapnya melihat adiknya. Perhatikan disini, seseorang bisa menyembunyikan hati yang sesat dan tersingkap ketika sesuatu mengusiknya.

Sang Bapa kehilangan kedua anak-Nya, satu di luar rumah dan satu di dalam rumah. Tetapi kapan hati mereka tersesat? Kita tidak tahu. Sulit kita tahu sejak kapan hati kita ini mulai tersesat dan mengeras. Banyak orang yang membagikan cerita masa kecilnya yang begitu polos mengasihi Tuhan dan mencari wajah-Nya. Dan entah mengapa dan apa pemicunya, kasih tersebut bisa  memudar, kepolosan itu hilang dan hidup semakin rumit.

Di dalam khotbah, Petrus menunjukkan kecenderungan pilihan manusia dalam kekerasan hatinya,
Kisah Para Rasul 3:14
Namun, kamu telah MENOLAK Yang Kudus dan Benar, serta MENGHENDAKI seorang pembunuh untuk diberikan kepada kamu.

Kekerasan hati manusia MENOLAK Yang Kudus dan Benar, dan waktu yang sama MENGHENDAKI pembunuh dan perusak. Kekerasan hati pemimpin agama pada saat itu membuat mata rohani mereka buta sepenuhnya. Sekalipun tahu Yesus telah bangkit, mereka mencoba menutupi kejadian kubur kosong dan menyebarkan hoax (Mat. 28:11-15). Semakin seseorang mengeraskan hati, semakin ia membenarkan diri melakukan kejahatan. Kekerasan hati tidak terjadi dalam 1 kali penolakan firman Tuhan, tetapi dua kali… tiga kali… empat kali… lima kali… dan seterusnya. Ingat, pikiran - tindakan - kebiasaan - karakter, semakin sering kita mengeraskan לֵבָב Levav, semakin kita mudah menolak Yang Kudus dan Benar, dan menghendaki pembunuh yang membunuh kita dari dalam.

Sejak kapan kehidupan seseorang dikuasai dosa dan semakin jauh dari Tuhan? Sejauh-jauhnya kita tersesat, sebenarnya dimulai dengan satu langkah.
Kejatuhan Kain dimulai dengan satu langkah ketika ia membiarkan amarahnya membesar dan kemudian membunuh adiknya. 
Kejatuhan Saul dimulai dengan satu langkah ketika ia lebih takut kepada manusia daripada taat kepada Allah.
Kejatuhan Salomo dimulai dengan satu langkah ketika ia kompromi dengan dosa. Ia mengambil gadis-gadis dari bangsa lain sebagai gundiknya.

Kain setelah membunuh adiknya, ia lari ke tempat yang jauh dan masih hidup. Saul setelah roh Tuhan pergi darinya, ia masih menjabat sebagai raja selama bertahun-tahun lamanya. Salomo ketika mengambil gundik pertama dari bangsa asing, kerajaannya masih makmur dan tidak ada petir dari langit. Itulah sebabnya mengapa dosa disebut sebagai tipu daya dosa. Dosa menipu kita seakan-akan hidup kita masih baik-baik saja, tidak ada yang berubah, padahal pada kenyataannya Tuhan telah murka atas kita. Konsekuensi dosa tidak instan kelihatan/terjadi setiap kali melakukan dosa. Tetapi setiap dosa adalah langkah kita menjauh dari Tuhan. Satu langkah ketidaktaatan bisa menuntun kepada langkah selanjutnya menolak Tuhan. Konsekuensi menolak firman Tuhan bukannya tidak ada, melainkan seperti penyakit yang perlahan merenggut mata rohani kita sehingga kita menjadi buta, menutup pendengaran kita sehingga kita perlahan semakin tuli. Jika dibiarkan, hati kita akan semakin keras. Konsekuensi dosa adalah terpisah dari TUHAN.

Seorang pria terdampar di pulau terpencil. Setelah berada disana selama lima tahun, dia ditemukan dan diselamatkan. Saat dia naik ke perahu penyelamat, tim penyelamat yang penasaran melihat tiga gubuk,
Mereka bertanya, “Kami kira kamu sendirian, kok ada tiga gubuk?”
Laki-laki itu menjawab, “Gubuk pertama adalah rumahku; yang kedua adalah gerejaku.”
Mereka kagum dan berkata, “Wah, rohani juga ya kamu sampai membangun gereja. Hmm.. terus bagaimana dengan gubuk yang ketiga itu?”
Laki-laki itu menjawab, “Oh, itu adalah gerejaku dulu”

Saudara, kita tidak bisa memulai hidup baru tanpa hati yang baru. Kehidupan kita tidak akan menjadi baik hanya dengan berpindah dari satu gubuk ke gubuk lain, dari satu kota ke kota lain, dari satu gereja ke gereja lain. Jika hati ini tetap keras, kondisi tetap sama buruknya sekalipun pindah ke Mars. Sebaliknya, hati yang baru mengubahkan sekalipun sekeliling kita tetap sama. Kehidupan kita bisa membaik ketika hati ini terbuka menyambut firman Tuhan.

Tuhan menghendaki bangsa Israel memulai hidup baru dengan hati yang baru. Tidak langsung masuk ke tanah Kanaan, melainkan di proses di padang gurun. Keluhan bangsa Israel di padang gurun terpancar dari hati yang sesat. Mengapa Tuhan harus menguji mereka dengan sengaja membiarkan mereka merasakan “rasa haus dan lapar”? Agar apa yang tersembunyi di dalam hati terlihat, yaitu hati yang tidak percaya kepada Tuhan. Keajaiban yang Tuhan tunjukkan di Mesir berguna agar mereka percaya. Tetapi, karena kekerasan hati mereka, mereka gagal dalam ujian iman.

Ibrani 4:7
Karena itu, Ia menetapkan lagi suatu hari, yaitu “hari ini”, ketika Ia berfirman dengan perantaraan Daud jauh di kemudian hari, seperti  dikatakan di atas, “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!”

“Hari ini” berarti panggilan pertobatan itu mendesak (urgent). Panggilan untuk percaya kepada suara-Nya dan membuka hati, hari ini dan bukan besok. Kekerasan hati di mulai dengan satu langkah penolakan dan dilanjutkan dengan penolakan yang berkelanjutan. Namun, TUHAN memanggil kita mengambil satu langkah pertama untuk menerima firman-Nya. Percaya pada firman-Nya adalah langkah pertama, langkah-langkah selanjutnya adalah terus percaya dalam ketaatan.

Wennie Dong