Artikel Batam
Kota Batam termasuk kota yang muda di Indonesia, yang dikembangkan dari sebuah pulau yang sepi penduduk menjadi sebuah kota modern, yang menarik perhatian para urbanis untuk mendiami dan bekerja di kota-pulau yang indah nan permai tersebut. Ketika orang-orang membicarakan kota Batam, umumnya kesan pertama adalah kota ini terkenal dengan alat-alat elektronik dari pasar gelap alias blackmarket. Sebagai kota yang banyak dikunjungi turis, kota ini juga dikenal dengan dunia malam, karaoke, pubs, resorts, seafood, tas-tas “genuine-fake” alias asli tetapi palsu.
Secara historis, kota Batam disebut di Traktat London (1824). Dipercayakan bahwa kota Batam telah didiami oleh penduduk yang dikenal dengan Orang Laut sejak tahun 231. Kota Batam yang merupakan pulau kembar dengan Singapura diserahkan oleh pemerintah Inggris kepada pemerintah Belanda sebagai Barter pada abad ke-18.
Karena kedekatannya dengan Singapura (sekitar 20-25 km), kota Batam banyak dikunjungi baik oleh warga negara Singapura maupun orang-orang yang bekerja maupun travel ke Singapura. Karena jarak tempuh yang dekat dan kemudahan transportasi, orang-orang bisa berkunjung ke Batam di pagi hari dan kembali ke Singapore pada sore atau malam hari. Sebaliknya, penduduk Batam juga dapat berangkat ke Singapura di pagi hari dan kembali pada sore atau malam hari. Tidak mengherankan, apabila ada warga Batam yang berangkat ke Singapura hanya untuk makan pagi, makan siang, berbelanja dan kemudian kembali ke Batam. Para turis yang berkunjung ke Batam, berbelanja, berkuliner, menikmati spa, dan menikmati istirahat dan ketenangan di hotel maupun resort di berbagai wilayah di Batam.
Pulau Batam berukuran 415 km2 (41.500 Ha) atau sekitar 67% dari pulau Singapura. Melihat potensi dari pulau tersebut, Presiden Soeharto pada tahun 1971 menetapkan kota Batam di bawah Batam Industrial Development Authority untuk menjadikan Batam sebagai kota industri dan turisme. Presiden Soeharto menugaskan B. J. Habibie yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi untuk memimpin Batam, menggantikan J. B. Sumarlin pada tahun 1978 (BP Batam 2014a, 1-7).
Di bawah pemerintahan B. J. Habibie, Batam mengalami pertumbuhan yang cepat, yakni dengan rata-rata pertumbuhan 17% per tahun dan bahkan pernah mencapai 31,28 % pada tahun 1991 (ibid, 17). Habibie memperkenalkan dua teori kepada Presiden Soeharto yang ia sebut dengan teori balon dan konsep Benelux. Teori Balon dipresentasikan oleh Habibie kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew pada tahun 1979. Metafora balon menggambarkan Singapura sebagai balon yang besar dan Batam sebagai balon yang kecil yang saling terhubung (ibid, 19-20). Dan konsep Benelux (Belgia, Netherlands and Luxumberg) menginspirasi orang nomor satu di pulau Batam untuk menjalin kerjasama trilateral - Singapura, Johr dan Riau yang lebih dikenal dengan “Sijori” (ibid, 21-27). Batam didesain untuk menjadi bonded warehouse, trans-shipment, logistic base, area industri dan turisme (ibid, 28-30). Pada saat itu, Habibie mengharapkan untuk hanya menyambut orang-orang dengan pengetahuan dan keterampilan teknis ke Batam dengan angka 700.000 jiwa sebagai batas mengingat kapasitas maksimum air minum saat itu hanya sanggup mengsuplai 700.000 jiwa (ibid, 60). Penduduk Batam bertumbuh dari 6.000 jiwa pada tahun 1973 menjadi 31.800 jiwa pada 1978 dan kemudian menjadi 1.137.894 jiwa pada tahun 2011 (2014b, 91).
Bandara Internasional Hang Nadim dengan landasan 4.025 meter, pada mulanya dirancang sebagai alternatif dari Singapore Changi Airport, apabila terjadi emergency, oleh sebab itu bandara tersebut dapat memfasilitasi pesawat berukuran besar Boeing 747. Tujuan domestik antara lain, Pekanbaru, Palembang, Jambi, Medan, Jakarta, Padang, Surabaya, Bandung, Bandar Lambung, Balik Papan, Jogjakarta, Makasar and Bali dan internasional, Kuala Lumpur. Batam terdapat lima terminal ferry -Harbourbay, Nongsapura Ferry Terminal, Sekupang, Waterfront City, and Batam Centre International Ferry Terminal. Mungkin Batam merupakan pulau dengan pelabuhan internasional terbanyak di Indonesia. Berbagai hotel dan resort berbintang seperti Batam View, Harris, Nongsa Point Marina, and Turi menjadi pilihan kunjungan. Kota ini juga dilengkapi dengan berbagai mal seperti Diamond City Mall, Mega Mall, Batam City Square Mall, Nagoya Hill Shopping Centre, Harbour Bay Mall, Panbill Mall, Plaza Toop 100 Penuin Batam, Kepri Mall. Berbagai tempat kuliner, lapangan golf dan makanan daerah juga menjadi daya tarik kota Batam.
Beberapa landmarks di antaranya, Maha Vihara Duta Maitreya, Mesjid Raya Batam Centre, Kwan Im, jembatan Barelang. Sebuah kota terasa kurang apabila tidak ada gedung tinggi. Maka hadirlah Batam City Condominium, gedung 28 lantai setinggi 128 meter, Bliss Park, gedung 30 lantai termasuk icon kota Batam. Mega Superblock Meisterstadt akan menggantikan Batam City Condominium dengan ketinggian 100 lantai. Masih ada beberapa masterplan yang belum terlaksana, seperti rumah sakit internasional, Batam-Bintan bridge and the Visitors Centre (2014a, 117-8), tolls highway, Mass Rapid Transport (2014b, 169-72), dan Batam menjadi kota dengan E-Government, E-Business, E-Infrastructure, E-Tourism, E-Education (2014b, 112).
Visi kota Batam adalah “terwujudnya Kota Batam sebagai bandar dunia mandani yang modern dan menjadi andalan pusat pertumbuhan perekonomian nasional”. Dalam pengembangan Batam baik oleh pemerintah maupun swasta, kita perlu mengupayakan agar pengembangan Batam berkontribusi bagi pemekaran manusia.
Kita perlu bertanya, apakah pengembangan Batam berkelanjutan (sustainable)? Dengan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional (Gunawan 2008, 117), apakah Batam dapat menyandang status sebagai “theo-ecological city” (Bahrum 2011, 112) dan tepat menganut prinsip “people-centered” (Bahrum, 174)?
Nah, sebagai kota yang sedang berkembang, orang-orang berdatangan untuk memperjuangkan hidup di kota tersebut. Dan ternyata, kehidupan di kota Batam tidak semudah yang dibayangkan sehingga muncul istilah “Batam” - “Bila Anda Tiba Anda Menyesal.” Belum lagi ditambahkan gelombang budaya konsumeris dan hedonis di kota yang dalam tahap perkembangan dengan berbagai pendatang yang sedang memperjuangkan hidup. Dalam konteks seperti ini, Gereja perlu bertanya, apa makna kehidupan yang baik di tengah kondisi di tengah arus konsumeris, dan hedonis? Dalam konteks kesuksesan sangat ditentukan oleh pencapaian diri yang diukur oleh kemampuan berbelanja, kemampuan konsumtif di tengah ketidakadilan sosial, bagaimana gereja melayani dan mengomunikasikan budaya shalom dan memaknai kehidupan yang baik secara teologis? Bagaimana teologi kehidupan yang baik (the theology of the good life) menolong orang-orang percaya memahami kembali makna pekerjaan dan kehidupan yang mekar (flourishing life)? Dimensi Shalom Nicholas Wolterstorff yang mencakup cinta (love), keadilan (justice) dan kesenangan (delight) dapat dijadikan kerangka teologi bagi GKI Duta Mas untuk mengembangkan teologi kehidupan yang baik agar GKI Duta Mas menjadi agen human flourishing di tengah kota Batam.
Pdt. Lan Yong Xing